Johana keponakanku yang paling lucu dan manis, ia
terlihat seperti anak tom cruise si suri. Walau baru menginjak kelas satu
sekolah dasar tetapi ia sangat modis dengan apapun yang ia pakai setiap
harinya. El, istri kakakku Yehuda memang telah di karuniai dua anak yang luar
biasa menawan. Jehezkiel, delapan tahun dan Johana enam tahun. Hari ini
Jehezkiel, Johana, Deborah dan David berkunjung kerumahku, katanya mereka ingin
menginap dua malam disini. Deborah yang sudah remaja memilki seorang adik laki-
laki yaitu David. Mereka adalah anak dari Kakak tertuaku Whitney dan suaminya
Wall. Deborah terlihat begitu anggun, bijaksana, piawai memainkan alat musik,
ia cermat berpidato dan selalu menjadi juara kelas, piala di kamarnya di
tempatkan dilemari kaca tersendiri. David, anak bungsu yang manja tetapi sangat
menawan parasnya. Ia terlihat begitu religius diantara seumurannya, oleh karena
kecintaannya pada teologi dan Tuhan maka ia senang membahas mengenai interkasi
manusia dengan manusia dan juga alam sekitar. Ia condong untuk mencintai ilmu
sosial dan alam secara bersamaaan. Mungkin saat besar nanti ia akan menjadi
dambaan setiap wanita, tidak jarang kolega- kolegaku sering memberi pujian
padanya.
Mereka terlihat sibuk dengan aktivitas mereka masing- masing.
Anak- anak, kataku dalam hati, akhirnya aku memikirkan untuk melakukan sesuatu
dan aku memutuskan untuk memanggil mereka. Mengingat ini liburan cuti yang
kuambil untuk beristirhat jadi aku ingin meluangkan waktu untuk mereka, menceritakan
tentang kisah hidupku bersama keluarga kecilku dulu. Aku berharap mereka
tertarik mendengarkannya.“ Deborah, David, Jehezkiel, Johana ... Ayo kesini
tante mau bercerita.” Kataku mencoba menarik perhatian mereka. “ Ia tante. Mau
cerita apa?, putri salju atau cinderella?, biasanya gitu sih kalau di sekolah.”
Kata Johana dengan polosnya.
“ Tante ingin menceritakan tentang kasih Tuhan bagi empat
bersaudara. Ceritanya tidak akan membuat kalian bosan, karena kalian akan
mendapat kejutan pada akhir cerita. Pemerannya nyata dan kalian kenal baik
loh!. Oh ia.. Deborah bantu tante yah.. tolong ke lemari ambilkan biscuit dan
sekalian ada sirup tuh !”, Kataku lagi dan tak lama kemudian mereka semua sudah
berkumpul bersimpul di daerah sekitarku. Johana membenamkan kepalanya di dadaku.
Deborah yang telah selesai menyiapkan cemilan datang memeluk kedua lelaki gagah
yaitu David dan Jehezkiel. “Sudah siap ? Inilah kisahnya....” Aku memulai
cerita dan memutar kembali filem lam di memoriku.
Malam
itu dari kejauhan terlihat lima orang sedang berjalan bergandengan tangan
menyusuri jalan raya. Jalan itu sempit dan remang- remang, terkadang ada
beberapa motor lalu lalang dan membunyikan klakson untuk memberi tanda bagi
pejalan kaki yang mungkin terlihat. Mereka layaknya anak tangga. Sang ibu
menggandeng anaknya yang paling bungsu sembari memegang dua kantong pelastik
penuh makanan, untuk malam ini dan mungkin besok. Sang ibu terlihat lebih
tinggi, kurus, masih cantik walaupun bajunya lusuh dan rambutnya yang acak
karena di jepit asal. Si bungsu memegang erat tangan sang ibu sambil
memperhatikan jalanan, ia berharap menemukan sesuatu yang dapat dipungutnya di
jalan. Tepat di belakang tiga orang yang terlihat kurus dengan penampilan yang
tak jauh beda dari sang ibu, sedangmembicarakan mengenai cita- cita mereka di
masa depan. Si sulung mengepal tangannya sambil berkata : “ Tenang saja.. aku
akan menjadi orang hebat keesokan harinya dan keluarga kita akan menjadi lebih
baik kedepannya.” Tak mau kalah si tengah lelaki menyerukan :” Aku akan menjadi
orang yang memimpin banyak rapat esok hari, dan semua mata akan tertuju padaku.
Si tengah yang perempuan mentap sayu dan berkata : Saya akan menjadi businesswoman
terkaya di dunia.
Sepertinya
perbincangan mereka tak terlalu mengganggu
kesunyian malam, hanya saja anjing- anjing yang dipelihara di rumah- rumah
warga cukup terganggu dengan kehadiran mereka yang melalui lorong sempit.
Mereka melalui jalan pintas yang sering dilalui, jalan pulang menuju rumah, setelah
mereka mendapati sesuatu hal untuk menahan perut untuk hari- hari depan.
Sesampainya
di rumah, si sulung membuka pintu rumah yang di sangga dengan kursi plastic dari
bagian dalam rumah. Seorang nenek dengan penampilan yang tak jauh berbeda dari
mereka, mencoba mengangkat kursi tersebut sambil memegang bagian punggungnya
yang sepertinya nyeri. Ia memberi senyum penuh harapan, karena melihat mereka yang
telah kembali. Sang ibu beserta anak- anaknya melepas lelah pada sofa yang
busanya sudah sangat tipis, karena sering di duduki tamu yang datang kerumah.
Nenek tersebut mengambil lima piring dan membagi- bagi makanan yang ada di dalamnya, sedangkan yang lainnya
memperhatikan di sekeliling, berharap punyanya yang paling banyak untuk
dipilih. Nenek memang tak begitu adil dalam pembagiaanya, ia sering kali
melebihkan untuk si tengah lelaki dan mengurangi porsinya. Akhirnya semua
mengambil makanannya, dan si sulung membantu sang nenek untuk membereskan
makanan sisa. Si sulung pun tertegun karena suatu hal dan berkata : “Nek, ini
ada gabin gula (sejenis biskuit dengan taburan gula batu diatasnya). Mau
disimpan untuk minum teh pagi yah?. Sang nenek menganggukan kepala, dan si
sulung menyimpannya pada lemari makan di dapur.
Malam
pun tiba, semuanya tertidur lelap kecuali yang masih terjaga adalah sang nenej
dan ibu yang bersebelahan kamar. Masing- masing dari mereka memikirkan tentang apa
yang akan dimakan esok hari, dan apakah mereka akan mampu hidup untuk dua atau
tiga minggu lagi?. Sang ibu berdoa sambil menangis di malam hari, memohon agar
Tuhan memberkati mereka sambil percaya bahwa mujizat itu nyata. Sang nenek
hanya menguping sambil menitikan air mata, pelan- pelan turun melewati pipinya
dan kembali menghapusnya, ia tak berani mengeluarkan suara cekikan, pikirnya
akan menggangg keempat anak itu dan mendapati keadaannya yang seperti itu.
Burung-
burung berkicau dan mentari menyapa hari baru. Sang nenek membangunkan mereka
karena akan bersiap- siap berangkat kesekolah kecuali si bungsu. Si sulung, berada
di sekolah menengah atas yang terkenal karena kualitas di daerahnya, juga tersohor
karena biaya sekolah yang cukup mahal sebagai sekolah negeri. Atas penyertaan
Tuhanlah, ia mampu mendapat beasiswa di tempat itu. Si tengah lelaki juga
berada di sekolah menengah swasta dan tidak terlalu terkenal dibanding sekolah
si sulung tetapi ia tak berminat untuk memaksakan kemampuannya. Si tengah
perempuan yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama tingkat akhir,
akan menghadapi ujian akhir nasional dalam waktu dekat ini. Si bungsu juga di
sekolah menengah pertama yang sama dengan si tengah perempuan, tetapi karena
bangunan kelasnya masih dalam perbaikan jadi mereka saling bergantian sip yaitu
pagi dan siang.
Mereka
bertiga disuguhkan dengan tiga gelas teh manis hangat beserta dua biskuit gabin
gula per orang yang akan kesekolah kecuali si bungsu yang masih tidur. Si
sulung membuka pembicaraan : “ Nek, kok sudah berkurang dua biskuit? kan
kemarin masih utuh harusnya dalam kemasannya kurang enam dong kenapa jadinya
delapan yang berkurang?. Si nenek hanya memandang si sulung dan ingin mengucap
sesuatu hal, kemudian ia tersendat dan berkata : “ sudahlah yang penting semuanya
dapatkan, ayo berangkat nanti terlambat.” Akhirnya mereka berangkat kesekolah
bersama- sama. Mereka masih tetap melewati jalan pintas untuk menuju sekolah
masing- masing, itu adalah pilihan yang terbaik karena untuk menggunakan jasa angkutan
umumpun perlu uang. Hal lain terlihat di raut wajah sang nenek, ia tertunduk
diam dan menahan air mata sambil memandangi biskuit gabin gula itu. Tidak tahu
apa yang berkecamuk dalam pemikirannya, hanya Tuhan sajalah yang tahu tepatnya.
Waktu
berjalan begitu cepat siang hari pun tiba, menjelang jam makan siang si tengah
perempuan dan lelaki mengetok pintu rumah sembari memberi salam kepada sang
nenek. Sang nenek akhirnya menyapa sambil meniup terompong yang sepertinya hampir
terbakar bagian ujungnya, kearah tungku kayu. Sayur kangkung kelebihan air yang
dimasaknnya hari ini. Ia menyodorkan piring dan diambilnya nasi bagi mereka
berdua, kemudian menyendok sayur kangkung ke piring masing- masing. Sang tengah
perempuan mengajak saudaranya ke ruang televisi, untuk menonton acara
infoteiment kesukaan mereka. Terkadang mereka mengomentari beberapa kasus
aktris yang tidak masuk akal, dan mereka berharap mampu menjadi tersohor dan
memiliki banyak uang seperti para aktris itu.
Sang
nenek menggumam sendiri di depan tungku api itu : “ Tuhan, kami sudah tidak
kuat lagi dengan semua ini. Ampuni hamba apabila terlalu lancang meminta, hamba
diberikan kondisi yang seperti ini hingga mati pun tak apa, tetapi untuk mereka
dan anakku jangan Tuhan. Biarlah dari ujung rambut sampai ujung kakiku
mengendap bau tungku asap ini asalakan jangan mereka.“ Tiba- tiba dari kejauhan
muncul sang sulung, ia sepertinya sedikit resah karena sesuatu hal. Ia duduk
menyapa sang nenek di depan tungku tersebut, ia menceritakan kegelisahannya
tentang rencananya untuk membeli folmulir pendaftaran beasiswa ke jakarta. Ia
berencana melanjutkan kuliah di Universitas swasta terkenal di Indonesia,
tetapi dalam keraguannya sang nenek memberinya nasihat : Berdoa dan bekerjalah
maka kamu akan berhasil, sulung.
Malam
pun tiba, sang nenek masih tetap memandangi atap kamarnya yang berkarat. Cahaya
rembulan masuk dari cela- cela kayu yang tidak terlalu rapat, menerangi
sepersekian dari wajahnya. Ia memanjatkan syukur dan doa kepada Tuhan, ia
mendoakan keempat cucunya agar menjadi orang yang berhasil nantinya sambil mengucurkan
air mata pengharapan.
10
Tahun kemudian .....
Ruang
kerja yang begitu mewah dan sangat tertata rapi, dindingnya biru muda dan
langit- langitnya biru tua. Seorang lelaki gagah, berbadan ramping tegap sedang
duduk dan berdiskusi dengan seorang wanita cantik dan molek rupawan. Mereka
membicarakan tentang schedule dan masih banyak lagi tetapi lelaki itu terus
memandangi sebuah bingkai foto di meja kerjanya, dan hanya sesekali memandang
wanita yang ternyata adalah sekertarisnya. Tiba- tiba ia menerima telepon dan
terlihat begitu cemas ia langsung keluar tanpa berpamitan pada sekertaris itu,
sambil mengatakan : “ Tolong cancel semua untuk hari ini. Saya ingin
mengunjungi pacarku yang ada di bingkai foto itu.” Sesaat setelah pintu ditutup
, sekertaris itu melihat bingkai tersebut, sebuah foto kusam seorang nenek yang
tersenyum dengan badan membungkuk sedang memegang terompong yang bersanding
dengan tungku kayu.
Seorang
dokter menyapa lima orang yang terlihat cemas menunggu sesuatu. Dokter tersebut
berkata :” Kalian tak perlu khawatir beliau baik- baik saja. Beliau ingin
berbicara dengan kalian semua, silahkan masuk.” Terlihat diatas tempat tidur
ruang VIP itu, seorang nenek yang sudah sangat rentah hampir mencapai satu abad
menyapa lima orang yang datang menjenguknya. “Ayo masuk, kalian sungguh cantik-
cantik dan ganteng- ganteng, Maria anakku mari mendekatlah.” Ia memanggil salah
satu diantara lima orang itu yang adalah anak permpuannya, ibu dari keempat
cucunya. Sang ibu masih terlihat cantik dan berbadan ramping, baju yang
dipergunakannya pun sederhana tetapi bermerek, walau memang sudah terlihat
garis- garis penuaaan di wajahnya. Akhrinya ia mendekati sang nenek dan
perlahan- lahan matanya menjadi merah dan berkaca- kaca.
Sang
nenek tersenyum lembut dan berkata : “Tak perlu menangis Maria, bungsu, kalian berdua
yang di tengah dan kau sulung. Sulung sudah menjagaku dengan sangat baik, ia
mencurahkan kasihnya dengan sungguh luar biasa hanya saja kemarin, Tuhan yang
berbisik di telingaku sebelum tidur untuk mengajakku pergi bersamaNya. Aku
menolak dan berkata bahwa aku ingin bertemu dengan kalian sebelumnya.
Selanjutnya aku terbangun dan sudah berada disini, dokter mengatakan bahwa
nyaris aku hilang dari dunia ini. Aku ingin berbicara dengan kalian dan
dengarkanlah hal ini .. “ Kemudian pembicaraannya dipotong oleh si bungsu : “Kenapa
seperti itu nek, tidak bisa, nenek akan pulang malam ini kerumah… jangan
seperti itu. “ Ia meneteskan air mata dan membasahi setelan jas hitam pekatnya
itu. “ Sudahlah dengarlah perkataan nenek semua ini benar adanya.” Dengan setengah
teriak si sulung yang sedari tadi tak menangis, membetulkan bajunya. Bajunya
tak begitu mewah, hanya saja terlihat bijaksana dan pada tangannya masih
tersimpan noda- noda spidolboard yang ia pakai untuk mengajarkan mahasiswa
program doktor ( S3 ) untuk jurusan psikologi pada salah satu universitas
ternama.
“
Ia kak.. kami mendengarkannya.” Si tengah perempuan menambahkan pernyataaan dan
berusaha berdiri tegap dengan sepatu high heels. Sepatunya yang hitam legam
cocok dengan setelan jas dan rok press hitamnya, ia memang sudah lama menangani
perusahaan dengan rating terbaik di dunia. Tak sungkan- sungkan namanya telah
tercantum sebagai bussineswoman terkaya nomor dua di dunia versi Forbes
Magazine.
Sang
nenek menatap mereka satu persatu dan kemudia ia kembali tersenyum dengan
begitu tulus, sambil berkata : “Tuhan telah mempercayakan kalian di dalam
hidupku, sungguh anugerah yang luar biasa. Si bungsu yang begitu manja dulunya
sudah menjadi pengusaha real estate di seluruh dunia, si tengah perempuan yang
pandai sudah menjadi bussineswoman bahkan hingga sekarang, dunia sudah mengakui
keberadaanmu. Si tengah lelaki yang selalu ku sayangi bagai anak keduaku dan
bukan cucuku, ia yang katanya ingin menikahiku, telah menjadi seorang bos di
perusahaan arsitektur. Si sulung sang pemimpi abadi telah menjadi seoarang guru
besar dan telah memberkati banyak negara dengan pengajarannya. Anakku Maria,
seorang ibu yang sungguh luar biasa. Ia bersandar kepada Tuhan dan tak henti-
hentinya berdoa, telah menjadi ibu yang bahagia di seluruh dunia. Nenekpun
seperti itu, akulah nenek yang paling bahagia diseluruh dunia. Aku mencintai
Tuhan dan selanjutnya kalian berlima melebihi diriku sendiri.” Mendengar
perkataan sang nenek, mereka semua menangis, tersedak- sedak menahan rasa sakit
di dada. Mereka mengingat masa lalu lagi.
Sang
nenek melanjutkan pembicaraannya : “Kalian tahu aku meminta dari Tuhan untuk
tak mengambil nyawaku, karena aku ingin berbicara dengan kalian hari ini dan
mengakui satu hal. Aku telah melihat Tuhan diantara kita, dengan jubah putih
menungguku di seberang jalan. Aku harus cepat karena waktuku hampir habis.” Ia
memandang ke arah tembok rumah sakit bercat putih susu itu.
“Kalian
tahu, mengenai biskuit gabin gula yang sering kalian makan di pagi hari? Kenapa
terkadang menghilang dua biji? Tak ada yang bisa menjawab, aku tahu… kalian
terlalu sulit berkata- kata untuk itu. Kalian tahu anjing di depan lorong rumah
kita yang sudah tua, dengan keempat anaknya yang masih kecil?. Setiap ada makan
sisa selalu kuberikan kepadanya dan keempat anaknya. Selanjutnya setiap pembukaan
awal bungkusan gabin gula, aku sembunyikan dua biskuit setiap harinya dan
memberikannya pada mereka.” Sang nenek mengeluarkan air mata tetapi ternyata ia
tidak menangis tetapi kantong air matanya sudah pecah.
Kemudian ia melanjutkannya lagi : “ Sepuluh
tahun yang lalu, aku tak memiliki uang lebih untuk memberikan perpuluhan ke
gereja setiap minggunya, tetapi aku memiliki gabin gula itu. Setiap kali aku memberikannya kepada anjing
itu. Ia mmelihatnya membagikan kepada keempat anaknya secara merata sambil aku
berkata kepadanya, doakan anakku, si sulung dan adik- adiknya yah.... hmmmmmm… .
” Ia mengela nafas panjang.
Semua
orang terlihat panik dan berteriak sekencang- kencangnya. “NEK ....... “. Sang
nenek kembali memperbaiki nafasnya kemudian menatap ke tembok dan kembali menatap wajah masing- masing dari
mereka. Ia akhirnya berkata : “tunggu sebentar.. Anakku dan cucu- cucuku hiduplah dengan damai,
taati perintah Tuhan dan jadikanlah ia sandaran hidupmu. Disaat kau mulai
merasa dirimu megah ingatlah masa lalumu untuk membuatmu selalu bersyukur,
nenek berharap kalian bisa mendidik anak- anak kalian sebaik dan secakap mama.
Aku sungguh mengasihi kalian... hmmm... Aku sudah siap Tuhan.” Sang nenek
menghembuskan nafasnya yang terakhir sambil menutup mata, dan senyuman yang
tulus tetapi menghiasi wajahnya.
“ Kasihan neneknya, aku sayang sama nenek Maria”. Johana
dengan manjanya memeluk aku dan mengatakan hal tersebut, aku cukup tercengang
dan seaakan bangun dari mimpiku yang panjang. Aku melihat Deborah, David dan
Jehezkiel mencucurkan air mata. Kuambil tisu yang berada di atas meja di
sampingku, dan memberikannya kepada mereka.
Tiba- tiba Deborah bertanya : “ Apa ini fakta tan? sepertinya
Deb mengenal keempat besaudara itu. Apakah itu mama Whitney, papa Yuda, mama
Ejen dan Papa Ecel? dan apakah si ibu itu nenek Maria? apa si nenek di dalam
cerita itu mamanya nenek Maria?”. Deborah menanyakan semuanya itu dengan
analisis yang sangat baik, aku hanya membalasnya dengan menganggukan kepala.
Mereka terlihat begitu terpesona mengetahui certita itu, dan David kemudian
mengagngugkan Tuhan dengan mengatakan trima kasih Tuhan. Mereka pasti sangat
ingin mengenal nenek Ika, nenek yang telah menjadi penolong semasa hidup kami
sekeluraga. Ia Bahkan lupa mendoakan dirinya, ia mendoakan kami untuk hidup
lebih baik. Tidak ada yang salah, apabila sekarang ia bersama- sama dengan
Tuhan di surga. Mungkin sekarang ia sedang tersenyum memandangku dari surga dan
berkata aku mencintaimu si tengah perempuan.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiO67LWzlnNQWjmdmrrx3fMvUFK3jkZPjodjT6evJWz4wa8DGOFmAU1MVMJ48DgUZJleMGpMmZyP_s8IoMbIjf-35vkdJd_hMlOzGu9mmRDzui_yGQfP5O9EGJLxHOtS5xKkQAMmT0jbfg/s1600/P1040496.jpg)
TTD
Whitney Talahatu
#To God Be The Glory#
Komentar