ANALISIS DIRI - Jendela Johari


Ditulis untuk memenuhi sebgaian persyarataan dari mata kuliah Child and Adolescence Development

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Setiap manusia memahami dirinya bukan hanya sebuah pajangan yang ditempelkan di tembok atau sudut jalan yang strategis di kota, untuk dilihat dan dinikmati para pemerhati di daerah tersebut. Manusia tahu hakikat dirinya adalah makhluk sosial yang memiliki hak dan kewajiban untuk berinteraksi. Setiap respon dari lingkungannya dapat dianggap dalam dua kategori penting, sebagai pujian atau kritikan. Kategori ini ia jabarkan di dalam paradigma yang menurutnya sesuai dengan yang seharusnya.
Lingkungan sekitar, bisa dijelaskan berupa orang – orang yang ada di sekelilingnya. Mereka adalah orang tua, teman sepermainan, teman sekolah, tetangga, keluarga besar dan lain – lain. Seorang pribadi, tumbuh tergantung bagaimana ia dibentuk oleh lingkunganya. Tidak jarang ditemukan, seorang yang sudah dewasa dibentuk karakternya, sejak ia masih berada di bawah asuhan orang tuanya. Orang tua adalah orang yang paling banyak mengambil andil atas hidup seorang anak. Bahkan saat bersikap di sebuah resepsi pernikahan, orang tualah yang memegang kendali atas anaknya. Robot yang bergerak sesuai remote control, apabila ia menekan tombol diam maka anak harus diam dan masih banyak tombol – tombol lainnya.
Orang tua selalu berpikir, bahwa membentuk pribadi anak sesuai dengan pandangan mereka adalah tepat. Semuanya tidak ada yang salah, tapi bagaimana dengan orang tua yang memilki kepribadian kuat ( koleris ). “ Orang tua berkepribadiaan koleris menganggap bahwa, kalau semua orang mengerjakan segalanya menurut cara mereka seketika itu juga kita semua bisa hidup bahagia selamanya.” (Littauer, F. 2002. Hal 34)
Inilah hal yang saya gumulkan sebagai seorang yang sudah dewasa, saya mengingat ibu saya adalah seorang single parent. Ia benar – benar memegang kontrol atas pembentukan konsep diri saya, tapi tanpa disadari saya tidak berkembang seperti apa saya seharusnya. Lebih tepatnya, menjadi duplikat dari beliau.­­­­­

BAB II
PARADIGMA LAMA TERHADAP MASALAH
Berusaha menjadi pribadi yang sama dengan kemauan ibu saya, inilah hal yang selalu saya pikirkan saat harus bersikap. Sikap saya selalu dimonitor oleh beliau sejak saya masih kecil, remaja dan hingga dewasa ini. Saya yang dulu belum menyadari konsep diri saya, terlalu terfokus dengan penggambaran pribadi beliau yang selalu dideskripsikan sebagai seorang wanita yang sempurna.
Saya yang bisa dikatakan buatan tangan beliau, tidak pernah mencoba untuk menghindar dari semua perintahnya. Saya yang diharuskan untuk mampu menghafal semua materi sekolah dengan cepat dan cermat, saya yang diharuskan membaca serta menulis dengan lebih lincah dan lebih mampu diatas teman – teman saya saat itu, saya yang diharuskan mendapat peringkat pertama dikelas dan saya yang diharuskan untuk lebih kalem dan menunjukan sikap pemimpin di setiap konteks kehidupan saya.
Tidak dapat di pungkiri, ibu saya adalah seorang psikolog yang tahu semua teori tentang perkembangan dan masih banyak lagi. Beliau menjadi ketua senat mahasiswa saat itu, dan beliu memang selalu menjadi bintang diantara teman – temanya di kelas.  Beliau juga adalah seorang yang berjiwa pemimpin, dan selalu mendapat peringkat terbaik dikelas masa sekolahnya.
Saya tidak pernah merasa dibanding – bandingkan dengan beliau, hanya saja seperti yang dikatakan Littauer bahwa :
“ Manusia berbeda dari manusia lainnya, dan salah satu yng berbeda ini adalah dalam hal kemampuan. Kenyataan ada orang di karuniakan kemampauan yang tinggi sehingga ia mudah mempelajari sesuatu. Atau sebaliknya, ada orang yang kemampuannya terletak pada taraf yang kurang, sehingga kesulitan mempelajari sesuatu.” ( Hal. 29 ).
Cara saya sendiri untuk mengahadapi hal itu adalah bagaimana saya sebagai seorang anak untuk tidak secara langsung menyakiti hati beliau, tetapi saya akan pelan – pelan menunjukan cara saya berkembang dengan pola saya sendiri. Namun tak melupakan untuk tetap menghasilkan nilai yang menjadi ekspetasi beliau.
BAB III
ANALISIS MASALAH
Saya mengahadapi sebuah masalah dimana saya tidak mampu menentukan konsep diri saya, melainkan ibu saya yang mendikte dan memaksakan saya untuk menjadi serupa dengan beliau. Hingga disaat saya remaja, saya menyadari seperti yang diungkapkan Santrock :
“ Remaja cenderug menunjukan diri yang palsu ketika berada pada situasi yang romantis atau ketika berkencan, dan ketika berada bersama teman – teman sekelasnya. Kemungkinaan terkecil remaja menunjukan dirinya yang palsu adalah ketika berada bersama teman – teman dekatnya. Remaja menunjukan diri yang palsu untuk membuat orang lain kagum, untuk mencoba tingkah laku atau peran yang baru yang disebabkan adanya pemaksaan dari orang lain yang tidak memahami diri remaja yang sebenarnya.” ( hal 335)
Saya pikir yang membuat semua ini terjadi adalah peran ibu saya. Beliau adalah seorang psikolog dan beliau bisa dikatakan berhasil menerapkan teori – teori yang ia pelajari selama beliau menimbah ilmu tentang dunia anak, tapi yang saya sesali adalah beliau menerapkan teori – teori yang ada hanya sebagai sendok tetapi makanan sebenarnya adalah konsep dirinya yang ia suapi untuk saya telan.
Saya memperkirakan semua ini terjadi, mungkin saat saya pertama kali hadir di dunia. Setelah saya memikirkan kembali, beliau pernah bercerita bahwa beliau sangat senang mengenakan saya baju bayi berwarna biru. Dari hal sekecil itu bisa dilihat bahwa beliau mulai menempatkan saya sebagai, seorang anak yang seharusnya kalem dan lebih penurut. Saya pernah baca dari salah satu buku psikologi milik beliau bahwa anak dapat digambarkan keribadiannya lewat warna kesukaannya.
Kalau ditanya mengapa semua ini dapat terjadi dengan sungguh saya tidak tahu, karena saya tidak pernah berani menanyakan tentang alasan beliau. Semua itu tidak menutup alam berpikir saya, hingga tiba pada satu titik alasan beliau adalah untuk menjadikan saya seorang insan manusia yang sempurna kemudian hari. Sebab semua penulis di buku psikologi itu juga, menyantumkan tujuan akhirnya yaitu agar anak menjadi pribadi yang baik di kemudian hari dan bukan sebaliknya.
BAB IV
PARADIGMA BARU DALAM MENGHADAPI MASALAH
Memandang semua analisis diri yang telah saya lakukan, membuat saya tidak merasa kecewa dengan ibu saya. Sebab saya tahu dan mengerti ternyata benar beliau tidak memilki maksud buruk bagi saya, walau saya tahu juga bahwa selama 17 tahun yang lalu mengenakan topeng yang di buat oleh beliau tidakah nyaman. Akhirnya saya tiba pada satu titik, dengan dua pandangan baru untuk mengahadapi masalah ini. Pertama, lewat teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erick Erickson dan yang kedua lewat prespektif kekristenan.
Erick mengemukakan teorinya dalam tahap – tahap kehidupan yang sifatnya seperti satu uang logam dengan dua sisi, diantaranya :
Penajabaran teori Erickson
Tahapan
Penjelasannya
Percaya Vs tidak percaya
Pertama
orang tua memegang peran untuk membentuk paradigma anak, akankah nantinya ia percaya pada dunianya atau rasa takut dan cemas berlebihan.
Otonomi Vs malu dan ragu – ragu
Kedua  (1 – 3 Tahun)
saat dimana anak akan mengembangkan otonominya sendiri tapi apabila orang tua memberikan terlalu banyak arahan dan hukuman anak akan menjadi pribadi yang pemalu.
Inisiatif Vs rasa bersalah
Ketiga (masa prasekolah)
bagaimana sang anak merespon suatu hal, berupa tanggung jawab dan apabila anak tersebut melakukan tugasnya dengan baik maka ia akan berinisiatif untuk melakukanya lebih baik lagi tapi apabila tidak jelas ia akan merasa bersalah.
Industri Vs perasaan
Keempat (masa sekolah)
anak memahami dirinya untuk belajar dan apabila anak merasa bahwa ia bukanlah anak yang produktif, ia akan menjadi seorang yang rendah diri.
Identitas Vs kekacauaan identitas
Kelima (masa remaja)
orang tua seharusnya membiarkan sang anak untuk menjalani pengalamannya dan mendapati konsep dirinya sendiri.
Intimasi Vs Isolasi
Keenam (masa dewasa awal)
Inilah saat anak untuk berusaha mencari teman sebayanya dan apabila semuanya terjalin dengan baik akan timbul intiimasi dan seandainya tidak akan menimbulkan isolasi.
Generativitas Vs Stagnasi
Ketujuh
(masa dewasa tengah)
Inilah saat seorang manusia ingin membantu generasi di bawahnya, berhasil dan tidaknya akan menimbulkan dua hal yang bertolak belakang ini.
Intergritas Vs rasa putus asa
Kedelapan
(masa dewasa akhir)
Saat inilah terjadi pengevaluasian pada diri dan selanjutnya akan menimbuulkan dua hal yang bertolak belakang ini.

Disini bisa dilihat bahwa Erickson, ingin menjabarkan bahwa setiap tahap kehidupan manusia memiliki dampak  bagi individu itu tanpa terkecuali.  Saya melihat teori Erickson layaknya cermin yang dengan jelas menelanjangi pribadi ini, lewat setiap tahap yang berlangsung dari tahap satu sampai dengan tahap keempat dalam kehidupan saya. Melihat grafik kehidupan saya yang mulai bergerak ke zona negatif pada tahap kelima, dimana identitas diri saya bisa dikatakan tidak berhasil saya temukan sendiri. Saya dapat menarik kesimpulan layaknya apa yang dikatakan Erickson :
“ Ericson tidak sepenuhnya menekankan bahwa solusi yang tepat untuk suatu tahap akan selalu bersifat positif sepenuhnya. Individu kadang tidak dapat terhindar untuk menghadapai atau membuat komitmen yang berakhir negatif akan percaya semua orang selamanya hidup dalam situasi yang selalu sukses. Akan tetapi, untuk perkembangan yang optimal, sebagaian besar tahap krisis seharusnya diatasi secara positif.” ( hal 47 ).
Prespektif  kekristenan memandang hal ini adalah baik, apabila orang tua ingin menempatkan posisi anakanya ke jalan yang benar. Seperti yang tertulis pada firman Tuhan bahwa : “ Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.” (Ulangan 6:7 ). Orang tua layaknya seorang penolong bagi saya. Ibu saya tidak sia – sia mendidk saya, itulah hal yang ingin saya tunjukan kepada Tuhan, dan beliau. Saya memahami pemikiran ibu saya layaknya seperti yang ada pada, Amsal 22 :6 “ didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.”

BAB V
PERENCANAAN STRATEGI KEDEPAN
Adapun setelah saya mendapat konfirmasi tentang konsep diri saya, saya mendapat paradigma yang baru tentang kehidupan ini. Intinya ibu membentuk pribadi saya sebab seperti kata Gunarsa bahwa : “ Anak membutuhakan orang lain dalam perkembangannya. Orang lain yang paling utama dan pertama bertanggung jawab adalah orang tua sendiri. Orang tualah yang bertanggung jawab memperkembangkan keseluruhan eksistensi si anak.” ( Hal 6 ). Saya memahami maksud baik beliau, yang ingin membentuk saya menjadi pribadi yang baik sesuai dengan pemikirannya.
Saya memiliki strategi kedepan dalam dua kategori yaitu, dalam jangka waktu menengah dan jangka waktu panjang. Kalau untuk jangka waktu menengah : saya akan berusaha membicarannya dengan ibu saya dan berkonsultasi tentang hal ini, sebab saya tahu dengan komunikasi semua hal akan berjalan dengan baik. Sedangkan untuk jangka panjangnya : saya berusaha untuk membuat pola sendiri, hanya saja saya akan mencoba menjadi apa yang sesuai dengan ekspetasi beliau. Saya tahu beliau adalah orang yang bijaksana sebagai seorang single parent, saya sangat mengasihi beliau dalam stiap aspek kehidupan saya.
Mengenai Plan A dan Plan B, saya berpikir apabila rencana saya di atas tidak berhasil lewat jalur komunikasi dan membuat inovasi memakai cara saya dalam bersosialisasi dan menentukan jalan hidup. Peluangnya untuk gagal adalah sangat kecil, kalau dipikirkan mungkin hanya 20 % saja. Sebagai manusia yang kritis saya pikir peluang sekecil apapun harus dipikirkan sedetil mungkin, bukan ?. Saya rasa untuk Plan Bnya adalah : saya akan keluar dari pola yang direnda oleh ibu saya dan mempercayakan hidup saya untuk Tuhan yang tuntun dalam membuka jalan saya dalam menentukan keputusan – keputusan saya selanjutnya dan saya tahu : “Sering terjadi kebijaksaan orang tua tidak dapat diterima oleh si anak. ( Gunarsa, D,S. 2007. Hal.9 ).
“ Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya,  menurut gambar Allah  diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan  diciptakan-Nya mereka.” (Keluaran 1 : 26). Allah saja menciptakan kita segambar dan serupa denganNya, artinya Ia ingin kita sama dengannya bukan serupa dengan orangg lain.
BAB VI
KESIMPULAN
Anak adalah seorang yang dipercayakan kepada setiap orang tua di dunia ini, tapi apabila sebagai orang tua tidak dengan secara tepat mendidik dan membuat pola asuh yang tidak tepat juga, secara tidak langsung akan membuat anak akan bertumbuh dengan sesuatu yang salah. Layaknya ia seharusnya bertumbuh sebagai bunga mawar,  tapi orang tua ingin sang anak menjadi bunga matahari. Hal ini adalah salah tapi menurut siapa dulu, jadi anak juga perlu membangun komunikasi yang baik dengan orang tua, agar bersama – sama mendapat kesepakatan yang seharusnya.
“ Allah menjadikan segala Jenis anak dan tujuan kita adalah mengasihi mereka dan menerima mereka apa adanya dan tidak berusaha menjadikan mereka seperti kita.” (Littauer, F. 2002. Hal. 45 ). Semua anak di bentuk memang mungkin memiliki kesaman genetika dengan orang tuanya tapi ingatlah bahwa : "Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim  ibumu, Aku telah mengenal engkau , dan sebelum engkau keluar  dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa. " ( Yeremia 1: 5). Jadi apabila seseorang mengatakan anak tersebut merupakan duplikat orang tuanya, bisa saja, tapi tidak menutup kemungkinan itu karena orang tua yang membentuknya menjadi seorang pribadi yang memiliki konsep diri seperti yang ada dalam konsep pikirnya.
Teringat tentang salah satu pribahasa, yang mengatakan : seorang singa tidak mungkin memakan anaknya sendiri. Hal ini mendukung saya dengan pernyataan bahwa saya seharusnya lebih menghargai kerja keras Ibu saya, sebab beliau telah berjuang dengan susah payah membentuk saya menjadi pribadi yang baik. Saya rasa semuanya tak sepenuhnya negatif. Adapun setiap teori yang dijabarkan oleh Erick Erickson bukan menjadi alasan untuk menuduh dan menuding orang tua saya, bahwa beliau menarik saya kepada zona negatif. Sebab semua orang tua jelas ingin yang terbaik untuk anaknya, tinggal bagaimana anak tersebut merespon tindakan orang tuanya saja.
Perlu diakui bahwa kita yang ada sekarang karena semua hal yang pernah dicekokan pada kita dulu. Baik itu dari orang tua, teman sepermainan, teman sekolah, tetangga, keluarga besar dan lain – lain.
DAFTAR REFERENSI
Gunarsa, D,S. 2007. Psikologi perkembangan. Jakarta : Gunung Mulia
Littauer, F. 2002. Personality plus for parents. Jakarta : Binarupa Aksara
Santrock, J,W. 2003. Adolescence, 6th Edition. Jakarta : Erlangga
Albin, R, S. 1986. Emosi : Bagaimana mengenal dan mengarahkannya. Yogyakarta : Kanisius

Komentar