Siswa Tak Mampu, Alasan Guru Melakukan Kekerasan ?


Belajar bukanlah suatu proses pemaksaan dimana individu  di paksa untuk mengerti materi yang disampaikan. Melainkan, belajar adalah proses perubahan tingkah laku atau kecakapan. Saat individu itu sendiri menimbah ilmu di tempat yang benar seperti lembaga Sekolah pasti ia akan menuai sesuatu yang positif dimana ia telah melewati proses untuk berubah jauh lebih baik. Tapi bagaimana kalau kenyataan bertolak belakang dari harapan ?
JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Sekolah SD 23 Tugu Utara Susiwi Astuti menemui salah satu siswa, Siti Maesaroh (8), yang mengaku menjadi korban kekerasan yang dilakukan Guru Rohani. Susiwi berharap muridnya yang akrab disapa Maesa mau masuk sekolah lagi. Sejak Senin (3/9/2012) lalu, Maesa enggan belajar di sekolah. Dia mengaku mengalami kekerasan yang dilakukan oleh wali kelas III SD Rohani, pada Jumat (31/8/2012). "Saya datang minta maaf, sambil mengajak anaknya kembali ke sekolah. Saya lihat sih mau. Kalau dia (Maisa) sama saya bilang mau. Saya tanya, sekolah lagi ya, dia bilang ya mau," ujar Susiwi yang baru menjabat sebagai Kepala Sekolah di SD itu selama 5 bulan, Jumat (7/9/2012).  Sebelumnya, guru Rohani dilaporkan 4 murid yang didampingi orang tua masing-masing ke Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada Rabu (5/9/2012) lalu. Siti Hanifah mengungkapkan, kekerasan yang dilakukan oleh Rohani, Walikelas III SD itu sudah cukup lama. Hampir semua murid kemungkinan menjadi korbannya. Terutama, siswa kelas III. Maisa mengaku merasa ketakutan dengan perlakuan kasar dari wali kelasnya tersebut. Sejak Senin (3/9/2012) lalu Maisa bahkkan tak berani berangkat ke sekolah karena merasa trauma dengan hukuman yang diterimanya dari Rohani pada Jumat (31/8/2012) pekan lalu. Kepada Kompas.com, Maisa bercerita bahwa hukuman itu diterimanya karena ia dinilai tidak mengerjakan PR mata pelajaran IPA. Rohani menyuruhnya mengerjakan ulang PR tersebut di sekolah. Tidak hanya itu, Maisa bahkan mengaku dipukul sekitar pukul 10.00 WIB. Setelah PR dikembalikan kepada siswa, Maisa mendapatkan nilai nol meskipun sejumlah jawabannya benar. Angka nol itu ditulis sangat besar di halaman buku dan dibuat seolah menyerupai gambar wajah orang dengan dua mata dan hidung mirip angka enam. Di bawah nilai itu ditulis, "Tolong diulang kembali di rumah!"
 Kita bisa tilik disini, Maesa mengalami kesulitan belajar karena salah satu faktor yang mungkin yaitu gurunya sendiri ( Rohani ). Pada kasus ini kita ketahui bahwa baik pihak siswa maupun guru mereka bukan seorang kristen yang mengenal kristus secara baik.  Lalu bagaimana pandangan guru kristen tentang kasus ini ?
Guru Kristen pada dasarnya harus memahami dulu bahwa pembelajaraan  terjadi bukan karena kemampuannya sendiri melainkan bergantung dengan sungguh kepada Tuhan. Setelah itu, fokus yang penting dalam mengajar adalah pemahaman, pandangan, dan hikmat yang kita ingin supaya para siswa memperolehnya.   Mengajar penuh tanggung jawab dan mempunyai kebahagiaan tersendiri, tetapi juga memilki potensi yang cukup berat untuk ditanggung. Sebagai guru harus menuntun mereka untuk menjadi murid Tuhan yang lebih kompeten, peka dan responsif, ini adalah acuaan yang tepat saat nantinya kita berdiri didepan kelas. Sebagai guru kristen pun dituntut untuk mempunyai pengetahuaan yang dalam tentang apa yang kita ajarkan, kemampuaan untuk menafsirkan pengetahuaan tersebut secara benar, dan karunia untuk berkomunikasi secara efektif.
Guru kristen pun harus melakukan pendekataan dalam proses belajar mengajar agar tidak terjadi kasus yang sama seperti yang dialami Maesa. Memahami dengan sungguh pendekataan kognitif pada siswa, bukan hanya memberikan materi saja tapi lebih peka pada cara siswa menangkap materi yang disampaikan itu sendiri. Kita memberi kesempatan bagi mereka untuk mengekspresikan apa yang yang mereka kurang pahami dan selanjutnya kita membentuk mereka secara perlahan. Semua siswa memilki daya tangkap terhadap materi yang berbeda – beda jadi untuk selebihnya, harus mengajar dengan kasih agar kesabaraan itu menjadi bagian dari pribadi kita, saat menghadapi situasi di kelas nantinya. Terpancing emosi itu sudah pasti tapi perlu disadari Tuhan memanggil kita untuk mengasihi mereka semua, merangkul dengan pengertiaan , dan membimbing mereka dalam pemuridaan. Pada akhirnya kita butuh Tuhan untuk mengontrol kita baik tutur maupun tindakan di dalam kelas saat proses pengajaraan.



DAFTAR PUSTAKA
Van Brummelen, H.1992. Berjalan dengan Tuhan di dalam kelas. Tanggerang : Universitas Pelita Harapan Press
Littauer, F. 1991. Personality Plus : Edisi Revisi.Grogol: Binarupa Aksara




Komentar