Manfaat Penerapan Pembelajaran Demonstrasi Terhadap Perkembangan Motorik Dalam Mengenakan Pakaian Untuk Anak Tuna Grahita Kelas VI SD di SLB-C YKDW Tangerang-Banten


A.  Latar Belakang

Manusia adalah ciptaan Allah yang telah dirancang secara khusus dibanding ciptaan yang lainnya. Alkitab menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia serupa dan segambar denganNya (imago dei), dan manusia itu diberiNya mandat untuk merawat dan memelihara ciptaan lainnya di bumi ini (Kejadian 2:15). Allah memberikan manusia akal budi untuk dapat memikirkan ataupun mengelola segala sesuatu yang berada di bumi. Manusia pertama yang Allah ciptakan, yakni Adam dan Hawa telah melanggar perintah Allah yang mengakibatkan kejatuhan seluruh umat manusia dalam dosa. Kejatuhan manusia ke dalam dosa menjadikan gambaran Allah dalam diri manusia rusak dan tidak lagi utuh, sehingga manusia tidak mampu lagi untuk berbuat baik dan benar di hadapan Allah. Manusia terus menerus bertambah banyak di bumi ini, dan semuanya sudah tercemar akibat kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa di taman Eden. Gambar Allah dalam diri manusia sudah mengalami kerusakan dan akibatnya manusia tidak lagi diciptakan sempurna seperti pada awal mulanya. Bahkan, terdapat beberapa anak yang memiliki kekurangan dibandingkan dengan orang-orang pada umumnya, atau pada masa sekarang ini disebut ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Kekurangan yang dimiliki beberapa anak tersebut menjadikannya anak yang memiliki kebutuhan khusus dan membutuhkan penanganan tertentu agar setidaknya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya.
Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, Allah Sang Pencipta Agung menyatakan kasihNya melalui pengorbanan Kristus di kayu salib untuk menebus umat pilihanNya. Dalam hal ini, penebusan dosa tidak hanya diberikan kepada manusia normal, tetapi juga kepada mereka yang berkebutuhan khusus seperti untuk anak tuna grahita. Anak tuna grahita adalah anak-anak yang secara umum mengalami retardasi/keterbelakangan mental, lemah pikiran, dan memiliki IQ dibawah rata-rata anak-anak pada umumnya (Santrock, 2003, hal. 159). Penyandang tuna grahita membutuhkan penanganan khusus dengan cara dilatih secara berulang-ulang untuk mengerti ataupun melakukan sesuatu hal.
Penebusan yang dianugerahkan Allah akan memampukan manusia normal maupun anak berkebutuhan khusus, seperti anak tuna grahita untuk terus menerus semakin lebih baik. Dalam hal ini, tidak bisa dipungkiri bahwa anak-anak tuna grahita membutuhkan penanganan khusus dibanding anak normal pada umumnya. Para manusia normal sudah sepatutnya menggunakan kapasitas yang ada di dalam dirinya untuk membantu penanganan anak-anak tuna grahita di lingkungan sekitarnya. Anak tuna grahita bukan berarti tidak bisa untuk dilatih dan diikutsertakan dalam komunitas lingkungan sosial di sekitarnya, mereka hanya butuh diajarkan secara berulang-ulang.
Secara umum anak-anak tuna grahita memiliki kekurangan terutama dalam kelemahan daya ingat maupun kemampuan berpikir, tetapi mereka masih dapat dilatih untuk setidaknya mandiri bagi dirinya sendiri. Anak normal pada umumnya memiliki peningkatan dalam hal tertentu dan dalam waktu yang sudah terpola, tetapi hal tersebut tidak sama seperti yang dialami oleh anak-anak tuna grahita yang memiliki perbedaan dan keterlambatan dalam perkembangan sehingga mereka membutuhkan pendidikan dan penanganan khusus. Anak tuna grahita juga harus memiliki kemajuan dalam perkembangan, sehingga dibutuhkan tenaga yang ekstra dan pengetahuan khusus dalam mendidik mereka.
Kenyataannya saat ini keberadaan penyandang tuna grahita dalam suatu komunitas lingkungan sosial tertentu cenderung disisihkan ataupun dianggap tidak ada. Sebagai manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, untuk menyikapi hal ini maka sudah selayaknya anak berkebutuhan khusus mendapat pendidikan yang sesuai agar mampu hidup mandiri dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Pendidikan yang dibutuhkan anak tunagrahita memiliki perbedaan dengan pendidikan anak normal pada umumnya, maka hal ini jugalah yang menjadi tantangan dan tanggung jawab bagi guru atau pun orang tua dalam mendidik anak-anak tuna grahita. Hal yang dibutuhkan ialah adanya sinergisme antara orangtua dan guru dalam mendukung pembelajaran anak tuna grahita seperti metode belajar, strategi pengajaran, serta penanganan khusus dalam menuntun mereka untuk dapat hidup mandiri dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Hidup mandiri untuk para penyandang tuna grahita memang tidak dapat disamakan dengan manusia normal pada umumnya, tetapi setidaknya mereka dapat diajarkan untuk melakukan hal-hal mendasar tertentu dengan baik dan benar. Untuk dapat mencapai tahap tersebut, dibutuhkan latihan dan tuntunan secara terus menerus hingga mereka dapat melakukannya secara mandiri dan tidak lagi membutuhkan bantuan orang lain.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti melakukan observasi untuk dapat melihat secara langsung tingkah laku dan cara belajar anak tuna grahita di sekolah khusus. Penyandang tuna grahita yang ditemui peneliti ketika melakukan observasi cenderung sulit melakukan berbagai hal mendasar bagi dirinya sendiri dengan baik dan benar, seperti : menulis, mengenakan pakaian, makan, mandi dengan bersih, dan berbagai hal lainnya. Fakta tersebut juga didukung hasil wawancara peneliti dengan guru kelas di sekolah tempat observasi, bahwa anak-anak tersebut masih sulit melakukan hal-hal tertentu yang cukup mendasar secara mandiri. Berdasarkan temuan fakta tersebut, dalam makalah ini peneliti akan membahas mengenai manfaat pembelajaran demonstrasi terhadap perkembangan motorik untuk melatih anak tuna grahita dalam mengenakan pakaian dengan baik dan benar, sehingga anak tuna grahita tersebut dapat mandiri dalam mengurusi dirinya sendiri.

B. Rumusan Masalah

Pembahasan dalam makalah ini mengenai metode pembelajaran yang sesuai untuk anak-anak tuna grahita dengan tujuan agar mereka dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya dan dapat mengurus dirinya sendiri seperti mengenakan pakaian dengan benar. Sebagai anak yang  terlahir dengan kekurangan, penyandang tuna grahita juga merupakan ciptaan Tuhan yang segambar dan serupa dengan Allah sehingga sudah seharusnya mereka mendapatkan pembelajaran khusus untuk dapat hidup mandiri dan tidak tergantung dengan orang lain. Hidup mandiri yang dapat mengurus diri sendiri seperti pada anak normal salah satunya dapat terlihat dari cara mengenakan pakaian dengan benar, sehingga hal ini sangat penting dipelajari anak-anak tuna grahita. Setelah melakukan observasi  dan wawancara terhadap siswa dan guru di SLB-C YKDW Tangerang ditemukan bahwa anak-anak tuna grahita yang ada disana masih mengalami kesulitan dalam mengenakan pakaian. Berdasarkan hal tersebut, makalah ini akan membahas penerapan dan pengaruh pembelajaran demonstrasi terhadap perkembangan motorik dalam mengenakan pakaian bagi anak tuna grahita, khususnya di SLB-C YKDW Tangerang. Berdasarkan hal tersebut, rumusan masalah dalam makalah ini ialah :
1.    Apakah manfaat penerapan pembelajaran demonstrasi terhadap perkembangan motorik anak tuna grahita?
2.    Bagaimana latihan mengenakan pakaian dapat meningkatkan perkembangan motorik anak tuna grahita?

C. Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian dalam makalah ini adalah :
1.    Untuk guru, penelitian ini memberi manfaat untuk membantu dalam mengembangkan kemampuan motorik anak-anak tuna grahita
2.    Untuk peneliti, sebagai calon guru penelitian ini menjadi bekal untuk dapat menangani dan mengembangkan kemampuan motorik anak-anak tuna grahita
3.    Untuk meningkatkan kemandirian anak tuna grahita dalam mengenakan pakaian dengan baik dan benar bagi dirinya sendiri

D. Tinjauan Pustaka

Setiap anak memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan, dan pendidikan yang mereka peroleh seharusnya disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan yang mereka miliki. Tanpa membedakan dengan anak normal pada umumnya, anak tuna grahita juga berhak untuk mendapatkan pembelajaran yang sesuai dengan kapasitas mereka. Dalam bukunya, Nuraeni (1997) mengatakan bahwa anak tunagarhita adalah orang-orang yang memilki kemampuan intelektual (IQ) dan keterampilan penyesuaian di bawah rata-rata teman seusianya. Dengan kekurangan dan kapasitas yang dimiliki tersebut, maka anak tunagrahita harus diajarkan cara untuk dapat mengurus diri mereka sendiri. Pendidikan dan pengajaran hanya dapat diberikan kepada anak tuna garahita yang berada di golongan mampu didik. Mumpuniarti (2007, hal. 13) menuliskan klasifikasi tunagrahita ialah sebagai berikut, yakni : tuna grahita ringan dengan IQ berkisar 50-70, tunagrahita sedang dengan IQ berkisar 30-50, tunagrahita berat dan sangat berat dengan IQ berkisar < 30. Anak tuna grahita yang ada pada golongan  mampu didik masih dapat  bersekolah di sekolah khusus yaitu di Sekolah Luar Biasa (SLB) C.
Dalam mendidik anak tuna grahita, gurunya harus dapat mengenali karakteristik anak didik yang sedang ia ajar. Anak tuna grahita yang dapat bersekolah biasanya berada pada golongan sedang dan ringan. Anak-anak tuna grahita yang ringan sebagian besar bukan dikarenakan kerusakan pada otak, namun banyak disebabkan oleh faktor keturunan, kurang gizi, atau perlakuan lingkungan. namun jika pada golongan sedang hal ini dikarenakan kerusakan otak dan bawaan, dan penyimpangan kromosom atau mongoloid (Nur’aeni, 1997, hal.107).
    Dalam mendidik anak tuna grahita mampu didik dan mampu latih, seorang guru harus memliliki strategi dan metode yang sesuai agar dapat mengembangkan kapasitas anak dengan maksimal. Hal-hal yang harus dikembangkan dari anak tunagrahita pada gologngan ringan dan sedang ialah bagian bina diri, yaitu bagaimana mereka dapat merawat diri meraka sendiri.  Dalam mengembangkan kemampuan bina diri atau merawat diri sendiri pada anak tuna grahita dibutuhkan latihan perkembangan motorik halus ataupun kasar. Kemampuan motorik pada anak tuna grahita sering kali mengalami gangguan sehingga harus dilatih secara terus menerus.  Piaget mengatakan bahwa belajar  sensori motor pada masa dini merupakan bangunan dasar bagi perkembangan perseptual dan kognitif yang lebih kompleks (dalam Abdurrahman, 2003, hal 144). Anak tuna grahita juga perlu dilatih dalam keterampilan sensori motor, yang masih dalam tahapan mudah dan disesuaikan dengan kemampuan mereka. Abdurarahman (2003, hal. 144) menuliskan bahwa sensori motor merupakan gabungan antara masukan sensasi (input of sensations) dengan keluaran aktivitas motorik (output of motor activity).
Salah satu metode pembelajaran yang dapat dilakukan serta mendukung untuk disesuaikan dengan kebutuhan anak tuna grahita adalah metode praktik langsung atau demonstrasi. Metode ini sangat sesuai dengan kebutuhan anak tunagrahita. Kekurangan yang dimiliki oleh anak tuna grahita ialah memiliki keterbelakangan mental atau lemah dalam berpikir sehingga membuat mereka mudah lupa. Untuk mengatasi hal ini, pembelajaran yang tepat dilakukan ialah dengan praktik langsung yang sangat sesuai dengan kapasitas anak tuna grahita. Hal tersebut tidak hanya membantu anak tuna grahita dalam mengingat hal yang diajarkan, tetapi dapat membantu keterampilan sensori motor mereka karena siswa dianjurkan untuk mempraktikan langsung materi yang sudah dijelaskan terlebih dahulu. Seperti yang dikatakan oleh Santoso (2010, hal. 39) bahwa metode demonstrasi dapat diartikan suatu cara penyajian pengalaman belajar dengan menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip, dan keterampilan tertentu. Hal ini tentu saja memiliki berbagai hambatan, tetapi dalam melakukan hal ini seorang guru harus maksimal dan akan lebih baik jika terdapat asisten atau guru pembantu di dalam kelas.

E. Analisis, Temuan, dan Pembahasan

Penulis melakukan pengamatan di Sekolah Luar Biasa YKDW Tangerang, instrumen yang digunakan adalah observasi dan wawancara.

a.    Instrumen 1 : Observasi

Dalam melakukan observasi peneliti melakukan observasi di dua kelas, kelas yang pertama terdiri dari 7 anak, 6 laki-laki dan 1 perempuan dan pada kelas yang kedua terdapat 6 anak yang terdiri dari 4 laki-laki dan 2 perempuan. Saat melakukan observasi di dalam kelas yang pertama, guru mengajak anak-anaknya berdoa bersama-sama. Setelah mereka berdoa, guru mulai mengajarkan mengenai materi pembelajaran. Selama pengajaran berlangsung, guru memberikan penjelasan kepada muridnya tentang cara menyapu yang benar dan membuang sampah pada tempatnya. Guru menjelaskan materi dengan posisi duduk. Namun, di pertengahan proses pembelajaran yang berlangsung, guru juga melakukan pendekatan kepada setiap anak dan memberikan penjelasan yang lebih mendalam dengan cara menghampiri setiap anak secara bergantian. Waktu pembelajaran terhenti karena adanya jam istirahat sekolah. Pembelajaran kembali berlangsung setelah jam istirahat, guru pun kembali menjelaskan materi dan menanyakannya kembali kepada anak-anak di dalam kelas berulang-ulang kali sampai mereka mengingatnya. Sampai pada giliran anak yang paling akhir, waktu belajar pun telah usai. Setelah mengajak setiap anak berdoa, guru kembali menanyakan pertanyaan seputar materi yang telah diajarkan. Jika ada anak yang dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan benar, mereka baru diperbolehkan pulang dan meninggalkan kelas dengan memberi salam kepada gurunya terlebih dahulu.
Observasi di kelas kedua, kelas terdiri dari 6 orang anak. Guru yang masuk bernama Ibu Siti. Sebelum memasuki kelas untuk mengikuti pembelajaran anak-anak tersebut terlebih dahulu mendengarkan ceramah bimbingan rohani di dalam aula sekolah. Setelah selesai kegiatan bimbingan rohani tersebut, anak-anak pun diarahkan untuk memasuki kelas. Peneliti pun ikut masuk ke dalam kelas dan keadaan kelasnya cukup sempit, setiap anak memperoleh satu kursi dan satu meja. Tidak terlalu banyak peralatan yang ditambahkan, hanya saja kaca dan tembok kelas sedikit dihias dengan gambar bunga dan pepohonan. Peneliti duduk di bagian belakang kelas selama melakukan observasi. Pada saat  memulai pembelajaran, guru terlebih dahulu menyapa dan menanyakan kabar anak-anak, secara khusus guru bertanya pada salah seorang anak yang pada hari sebelumya sakit mengenai keadaan dan kesiapan anak tersebut dalam mengikuti pembelajaran.
Selanjutnya guru bertanya mengenai nama hari, dan sebagian siswa salah menyebutkan nama yang sesuai untuk hari pada waktu itu. Setelah selesai melakukan brain storming, guru pun  melanjutkan materi pembelajaran. Materi yang diajarkan oleh guru pada hari itu ialah mengenai kebersihan lingkungan, serta kebersihan diri. Saat mengajarkan materi yang dibawakan, guru berbicara sambil duduk di meja yang cukup dekat dengan anak-anak, sehingga interaksi yang terjalin antara guru dan anak-anak menjadi semakin dekat. Pada saat yang bersamaan terdapat salah satu anak yang tidak memiliki semangat dalam mendengarkan guru yang sedang menjelaskan materi pembelajaran, anak tersebut hanya menggosokkan minyak  kayu putih di bandannya yang sedang dalam kondisi kurang sehat.
Saat melakukan observasi, peneliti mendapati bahwa pada saat guru menjelaskan materi pembelajaran ia hanya berbicara dari depan dan menuliskannya di papan tulis, dan terdapat anak  yang tertib memperhatikan serta mendengarkan, tetapi juga terdapat anak yang berespon biasa saja. Pada saat menjelaskan guru sesekali meninggikan nada bicara yang cukup keras agar anak-anak tetap fokus memperhatikan apa yang sedang dijelaskan. Selain itu, peneliti juga mengamati terdapat beberapa anak yang pakaian tidak dikancing seluruhnya, tidak rapi, serta pada salah satu anak yang ingin menggosokkan minyak kayu putih mengalami kesulitan untuk  melepaskan jaket yang sedang ia kenakan.
Dalam observasi ini, peneliti juga sempat melakukan perbincangan terhadap beberapa anak yang terlihat cukup aktif selama pembelajaran berlangsung. Pada saat berbincang-bincang dengan anak tersebut, terlihat ia sudah cukup mengerti dan dapat menjawab dengan benar ketika ditanyai mengenai sesuatu hal. Hanya saja anak tersebut cukup sering memberikan  pernyataan yang kurang sinkron antara yang sudah ia ucapkan sebelumnya dengan apa yang ia akan ucapkan selanjutnya. Pada saat melakukan perbicangan, si anak juga sudah cukup bisa menanggapi, memposisikan, dan menghargai peneliti yang sudah lebih tua darinya. Peneliti juga menanyakan mengenai kehidupan sehari-hari anak tersebut ketika di rumah. Pertanyaannya mengenai siapa yang membantunya saat makan dan apakah ia sudah bisa mengenakan pakaian sendiri atau masih membutuhkan bantuan untuk melakukannya. Anak tersebut menyatakan bahwa ia masih membutuhkan bantuan dalam melakukan kegiatan sehari-harinya seperti makan dan pada saat mengenakan baju.
Selain melakukan perbincangan dengan anak tersebut, pada saat melakukan observasi peneliti mendapati bahwa guru sering kali harus mengulang sampai beberapa kali agar anak-anak tersebut dapat mengingat apa yang telah dipelajari. Namun, meskipun gurunya sudah mengulangi secara terus menerus tetap saja masih didapati anak yang sudah lupa meskipun hal tersebut baru diingatkan atau disampaikan oleh gurunya. Dalam hal ini, peneliti melihat bahwa ada begitu banyak hal yang harus dipersiapkan untuk mendidik anak-anak tuna grahita.

b. Instrumen 2 : Wawancara

Berikut ini adalah laporan wawancara antara peneliti dan guru kelas (narasumber).
Peneliti         : Ibu, bisa ceritakan mengenai keadaan kelas yang baru saya observasi?
Narasumber            : Kelas yang saya pegang adalah kelas 6, di dalamnya ada 6 orang anak penyandang tuna grahita yang termasuk ke dalam golongan ringan. Ada juga sih anak yang tuna grahita ringan dua orang
Peneliti         : Apa saja yang ibu ajarkan kepada anak-anak tersebut bu?
Narasumber            : Karena mereka adalah anak-anak yang memiliki daya pikir yang lemah jadi memang tidak bosan-bosannya saya mengajarkan mereka hal-hal mendasar yang penting.. ya banyak gitu, seperti nama-nama hari, bulan, tanggal, buang sampah pada tempatnya, menulis dengan benar, cuci tangan, mengenakan pakaian dengan benar, dan banyak hal lainnya..
Peneliti         : Jadi hanya hal-hal mendasar seperti itu saja ya bu?
Narasumber : Iya hanya begitu memang, karena kan kapasitas mereka memang tidak bisa disamakan dengan anak-anak normal, tetapi harapannya itu kan mereka sekolah agar setidaknya bisa mandiri ngurusin dirinya sendiri.. kan tidak selamanya mereka bisa diurusin selalu kayak anak bayi..
Peneliti         : Jadi meskipun memiliki kelemahan dalam berpikir mereka tetap bisa diajarkan hal-hal mendasar tersebut ya bu?
Narasumber            : Iya, kan kalau segala sesuatu terus menerus dibiasakan dan tidak bosan-bosan mengulanginya lama-lama ya mereka bisa mengerti. Dalam hal kemampuan motorik ya memang agak lebih lama mengajarkan supaya mereka bisa ngerti gitu..
Peneliti         : Misalnya apa saja bu yang agak sulit mereka lakukan dan harus terus menerus diulangi sampai mereka ngerti?
Narasumber            : Anak-anak tersebut sangat sulit itu misalnya diberitahu mandi yang bersih, mengenakan pakaian dengan rapi dan benar, makan yang benar caranya.. ya masih banyak lagi sih.. Kalau diingatin terus dan dicontohkan secara langsung kayak di demonstrasikan lama kelamaan mereka mampu untuk mengerti kok.. Mengajarkan mereka untuk terbiasa buang sampah di tong sampah yang ada di luar kelas saja cukup lama, tetapi kalau sabar mereka jadi bisa dan mengerti kok untuk buang sampah pada tempatnya meskipun mereka harus jalan dari tempat duduknya..
Peneliti         : Oh begitu.. Kalau mengenai kurikulum bagaimana bu? Lalu apakah mereka juga memiliki PR bu?
Narasumber            : Sekolah ini sih mengikuti kurikulum 2013 dari pemerintah, ya kurikulum 2013 khusus untuk ABK gitu. Kurikulum tersebut sedikit di modifikasi sih untuk penyesuaian dengan anak-anak di sekolah ini. Kalau mengenai tugas ya pasti ada, karena kan itu untuk melatih tanggung jawab mereka juga, dan melatih mereka untuk menulis karena agak lama mereka menulisnya itu. Tugas yang diberikan juga disesuaikan dengan kapasitas mereka sih, seperti hanya menyalin satu paragraf gitu
Peneliti     : Apakah ibu punya strategi atau metode khusus dalam menangani serta mengajari mereka?
Narasumber : Mengatur anak-anak seperti mereka memang sulit, ya tapi mereka bisa diatur dan diberitahu asal dengan sabar.. Saya sih mengajari mereka palingan dengan menunjukkan contohnya secara langsung, karena kalau diberitahukan teori ya mereka sulit mengerti..
Peneliti     : Oh begitu ya bu. Lalu apakah kegiatan mereka hanya belajar di kelas saja atau mereka memiliki kegiatan yang lain bu?
Narasumber     : Mereka juga ada ekstrakurikuler kok seperti menari, menyanyi, dan yang lainnya.. trus setiap jumat mereka ada bimbingan kerohanian. Tapi mereka pulang tidak pernah lebih dari jam 1 siang, dan masuk sekolah setiap pagi tidak seperti sekolah pada umumnya gitu, mereka masuk jam 8 pagi.. ya namanya juga mereka tidak seperti anak pada umumnya.. trus di sekolah ini juga ada ruang terapi, mereka punya jadwal tersendiri untuk terapi..
Peneliti     : Kesulitan dalam mengajari mereka apa saja ya bu?
Narasumber     : Sangat banyak tapi dengan kesabaran ya bisa teratasi gitu.. itu saja sih kuncinya..
Peneliti     : Hmm jadi begitu.. terimakasih banyak sudah membantu dan memberikan informasi kepada kita ya bu..
Narasumber     : iya sama-sama..

Peneliti     : Bu, sejauh ini kami sudah melakukan observasi di kelas ini. Hanya saja masih perlu beberapa hal yang perlu ditanyakan. Siswa dikelas ini berapa orang, bu?
Narasumber     : Di kelas ini terdapat 6 siswa tetapi dua diantaranya sedang ijin. Anak yang satunya sedang sakit dan yang lainnya sudah lama tidak mengikuti kegiatan belajar mengajar tetapi masih tetap terdaftar sebagai siswa sekolah ini.
Peneliti     : Sedangkan kemampuan masing- masing mereka melakukan aktivitas kegiatan belajar mengajar seperti apa, bu ?
Narasumber    : Saya akan jelaskan empat siswa yang ibu-ibu sekalian observasi hari ini saja ya..
Peneliti     : Iya, bu.
Narasumber     : Mengenai Siti, dia satu-satunya perempuan di kelas ini tetapi ia sudah mampu menulis dengan sangat baik, hanya saja kekuranganya dalam hal bebicara dan volume suara yang cukup kecil dibanding yang lain. Mengenai Ferdy, dia mampu untuk menyalin materi yang diberikan di papan tulis dengan baik, dia memahami materi yang diberikan, dia mampu menghafal ayat Al-Quran. Hanya saja, pelafalannya masih kurang dan kadang tidak dimengerti siswa yang lain. Mengenai Iqbal, motivasi belajarnya di bawah rata-rata dan sering membuat kegaduhan di dalam kelas, hanya saja saat ditegur oleh guru masih dapat menurut dan mengikuti lagi pembelajaran. Mengenai Rido, dia adalah seoarang anak yang cukup pintar dan ia mampu berbicara dengan lafal yang baik, ia mampu menyalin materi dengan baik, hanya saja satu masalah Rido adalah karena orang tuanya yang sering memanjakannya hingga beberapa hal tidak dapat ia lakukan dengan mandiri.
Peneliti     : Orang tua yang memanjakannya? Maksudnya ini seperti apa ya bu?
Narasumber     : Maksudnya seperti ini, ibu- ibu. Rido anak yang pandai dan ia mampu mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan baik. Hanya saja, saat dirumah Rido memiliki seorang kakek yang sering memanjakannya. Bahkan untuk mengenakan pakaian, kakenya sering membantunya untuk mengenakan seragam sekolah baginya.
Peneliti     : Lalu penanganan seperti apa, yang akan dilakukan?
Narasumber : Saya sendiri sudah berkali-kali menasehati Rido dan menitip pesan bagi keluarganya agar tidak memanjakannya dengan menulis catatan pada bukunya. Menurut saya ini adalah jalur yang baik untuk mengomunikasian hal yang dialami oleh anak dengan baik kepada orang tua.
Peneliti     : Jadi, dalam hal mengenakan pakaian juga sangat diperhatikan ya, bu?
Narasumber : Harapan kami setelah mengenyam pendidikan di sekolah ini, anak tersebut  mampu mandiri dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya dengan baik tanpa tergantung dengan pribadi manapun. Anak harus dapat menjadi pribadi yang mandiri dengan melakukan hal- hal demi kebutuhan hidupnya sehari- hari, seperti: membersihkan diri sendiri, mengenakan pakaian dan membersihkan ataupun merapikan barang- barang disekitarnya.
Peniliti     : Memang terlihat keinginan kuat dari ibu selaku guru  dan pihak sekolah dalam mendidik anak-anak ini. Harapan saya kebaikan ibu, para guru dan staff semua dapat dibalas oleh yang Maha Kuasa dan kami rasa sampai disitu saja pertanyaan- pertanyaan yang bisa kami ajukan bu.


c.    Pembahasan Hasil Observasi/Temuan

Setelah melakukan observasi dan melakukan wawancara, dalam penyusunan  makalah ini penulis melihat dan menyimpulkan bahwa di SLB-C YKDW, khususnya pada tingkatan kelas 6 mayoritas anak tergolong tunagrahita pada tingkatan yang ringan dan sedang. Dalam hal ini, peneliti mengamati secara langsung mengenai perlakuan anak dan respon mereka saat bertemu dengan orang lain. Selain mengenai kondisi anak-anak, juga diajarkan pembelajaran yang materinya mengacu pada kurikulum 2013, hanya saja dalam penggunaanya disesuaikan atau dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas anak-anak tunagrahita di sekolah tersebut.
Melalui observasi ini, peneliti juga menyimpulkan terdapat banyak anak yang mengalami  masalah dalam hal motorika atau pergerakannya, hal ini terlihat saat mereka berjalan dan berinteraksi dengan orang lain. Selain dari pengamatan pada saat observasi di kelas, berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas, diperoleh informasi bahwa anak-anak tunagrahita yang ada di sekolah ini  masih belum dikembangkan dengan baik dalam hal perkembangan motorik. Hal ini sesuai dengan penuturan guru yang menyatakan bahwa masih terdapat sebagian besar anak yang merasa kesusahan dalam mengenakan pakaian khususnya yang menggunakan kancing. Dalam hal ini, peniliti melihat kebutuhan atau hal yang harus ditingkatkan untuk dipelajari  oleh anak-anak tersebut adalah mengenai perkembangan sensor motorik mereka, seperti mencuci piring, memotong kuku, dan khususnya dalam mengenakan berbagai jenis pakaian.
Setelah mendapati hasil observasi bahwa anak-anak tunagrahita sangat mudah untuk lupa, dikarenakan IQ mereka yang rendah ataupun karena adanya faktor kelahiran atau faktor lainnya, maka permasalahan ini yang harus di atasi oleh guru atau pun peneliti. Untuk menangani hal ini memang bukanlah suatu hal yang mudah, dibutuhkan sinergi antara guru dan orang tua dalam mengajarkannya kepada anak-anak tersebut. Dalam proses belajar ataupun latihan anak-anak tersebut penting untuk diingatkan dan dilatih secara terus menerus. Selain itu, dalam makalah ini peneliti juga mendapati guru yang mengajar kurang maksimal dengan sikap hanya duduk dan menjelaskan tanpa memperhatikan anak dengan teliti. Seharusnya guru menerapkan pembelajaran yang kontekstual, kreatif, dan inovatif di dalam kelas agar mereka dapat melihat serta mempraktikkan secara langsung, sehingga materi yang dipelajari dapat diingat. Demonstrasi untuk mengenakan pakaian ini harus terus diulang selama 3 kali setiap minggu atau disesuaikan dengan kemampuan anak. Guru dan orang tua harus menyadari pentingnya perkembangan motorik seorang anak sehingga akan dapat membantunya untuk hidup mandiri dan tidak tergantung dengan orang lain.

 

d.   Strategi Yang Digunakan

Berdasarkan hasil observasi pada anak-anak tunagrahita dan melihat kesulitan pada diri mereka, peneliti menyimpulkan bahwa pembelajaran praktik langsung atau demonstrasi  adalah salah satu cara yang sangat sesuai untuk diterapkan. Salah satu hal yang menjadi ciri dan masalah bagi anak-anak tuna grahita menurut Nur’aeni (1997, hal 108) ialah adanya perbedaan fisik dan perkembangan motorik halus dan perkembangan motorik kasarnya yang sering terganggu. Berdasarkan kendala yang dimiliki anak tunagrahita dalam hal motorik, maka salah satu metode yang paling sesuai ialah praktik langsung atau demonstrasi.
Salah satu materi pembelajaran yang menggunakan sensori motorik adalah latihan  mengenakan pakaian, dan hal ini jugalah yang dialami oleh anak-anak tunagrahita di SLB-C YKDW Tangerang. Penerapan pembelajaran praktik langsung  merupakan suatu hal yang penting, selain membantu siswa dalam mengenakan pakaian, hal ini juga membantu siswa untuk menggunkan saraf sensori dan motorik mereka. Metode yang dilakukan ialah metode praktik langsung dimana setiap siswa akan menirukan apa yang telah dilakukan dan dijelaskan oleh guru. Materi yang diajarkan dan sesuai dengan  metode ini ialah keterampilan sensori motorik anak pada usia sekolah, khususnya bagian self-care development. Hal -hal lain yang harus dikembangkan dalam anak-anak sekolah pada bagian self-care adalah cara yang benar dalam hal makan, menggunakan sendok dan gelas, memakan makanan yang beragam, melakukan perilaku yang sesuai pada saat makan, kemudian dalam hal mengganti pakaian, serta  mengancingkan baju (Nur’aeni, 1997, hal. 110).
Metode yang sesuai dengan masalah yang dialami anak tuna grahita tersebut adalah praktik langsung atau demonstrasi khususnya dalam mengenakan pakaian, karena dalam hal ini  guru dapat mengajarinya di sekolah. Dalam pelaksanaanya, praktik langsung (demonstrasi) ini sangat memberikan dampak bagi anak-anak tuna grahita. Berdasarkan hal ini, maka dalam penjelasan materi guru harus mendemonstrasikan atau mencontohkannya di depan kelas. Demonstrasi selain dapat menarik perhatian anak-anak, juga akan mempermudah ingatan mereka khususnya jika mereka langsung mempraktikkannya sendiri dengan didampingi oleh guru.
Dalam menerapkan metode ini, siswa harus terlebih dahulu disuruh untuk membawa pakaian berbagai jenis, tentunya dengan menginformasikannya terlebih dahulu kepada orang tuanya. Sebelum pembelajaran demonstrasi dimulai, guru harus terlebih dahulu menjelaskan apa yang akan dipelajari dan mempraktikkannya secara langsung di depan di depan kelas. Setelah guru mempraktikannya didepan kelas, maka setiap anak mendapat giliran  untuk melakukannya. Penerapan demonstrasi atau praktik langsung seperti ini tidaklah, dibutuhkan waktu yang panjang dan kesabaran dalam melakukannya. Guru sebaiknya memiliki guru pendamping atau asisten. Selain itu, hal ini tidak cukup dilakukan sekali saja, tetapi butuh waktu beberapa kali. Dalam hal ini dibutuhkan sekitar 3 kali dalam seminggu selama 3 minggu sehingga anak-anak dapat mengenakan pakaian secara mandiri . Kesabaran dan hati yang mau melayani merupakan kunci dalam mengajar anak-anak tunag rahita. Saat seorang guru memutuskan untuk belajar, maka hal yang penting juga untuk melakukannya semaksimal mungkin dalam usaha meningkatkan kemampuan anak-anak tuna grahita yang sedang ia didik.

F. Kesimpulan dan Saran

a. Kesimpulan

Kesimpulan dari pembahasan dalam makalah ini, bahwa penanganan khusus untuk anak-anak tuna grahita akan dapat meningkatkan kemampuan motoriknya dan fungsi saraf sensorinya. Peningkatan dapat dilakukan melalui penerapan pembelajaran praktik langsung (demonstrasi). Metode yang dilakukan adalah untuk menirukan hal yang dilakukan oleh guru dan kemudian anak tersebut mempraktikannya lagi di depan kelas. Berdasarkan hasil pemaparan dalam makalah ini, materi cara mengenakan pakaian dengan benar dapat diikuti anak-anak tuna grahita dengan latihan tiga kali seminggu untuk jangka waktu 3 (tiga) minggu. Jika sudah dapat melakukannya dengan baik, maka anak-anak tuna grahita dapat meningkatkan kemandiriannya dam tidak perlu terlalu bergantung lebih kepada orang lain disekitarnya.

b.   Saran

Saran untuk pihak yang akan memanfaatkan penelitian ini ialah persiapan tenaga pendidik atau guru yang akan menangani dan mengajari anak tuna grahita. Kemampuan motorik anak tuna grahita memang lemah dibandingkan anak normal pada umumnya sehingga dibutuhkan penanganan khusus dan latihan secara berulang-ulang agar anak-anak tersebut dapat melakukan apa yang diajarkan secara mandiri dan tepat. Dalam hal mengenakan pakaian, saran dari peneliti ialah agar pelaksanaannya didukung oleh dua guru, perempuan dan laki-laki dan dua ruangan kelas. Latihan mengenakan pakaian harus dilakukan di ruangan terpisah antara anak-anak laki-laki dengan anak-anak perempuan, tentunya dengan pendampingan guru yang satu gender dengan anak-anak tersebut. pembagian ini tidak sekedar mengajarkan anak-anak tuna grahita dalam mengenakan pakaian, tetapi juga dapat mengajarkan mereka dalam melihat perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan sehingga dapat saling menerima dan menghormati perbedaan gender yang ada.





Daftar Referensi


Abdurrahman, M. (2003). Pendidikan bagi anak berkesulitan belajar. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan & PT Rineka Cipta.
Aeni, N. (1997). Intervensi dini bagi anak bermasalah. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Santoso, B. (2010).
Santrock, J. W. (2003). Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta : Erlangga.




Komentar